Ada impian saat pilpres lalu, ada
harapan besar atas terpilihnya Prabowo menjadi RI 1. Namun sepertinya harapan
itu harus dibuang saat ternyata RI 1 yang terpilih adalah Jokowi. Mengapa saya
pribadi mengharapkan beliau memimpin negeri ini? Berikut ulasannya
Stabilitas Dalam Negeri
1. Harga
barang terjangkau
Mungkin sudah
santer anda melihat ada satu sosok melambai atau tersenyum dengan caption
"Enak Jaman ku To?" Hal ini memang seperti masyarakat dambakan:
kembalinya keadaan seperti dahulu. Dahulu dimana harga kebutuhan pokok
terjangkau, mencari rupiah terbilang mudah, bisa bersekolah dan kuliah nyaman
dengan uang jajan dan beasiswa, hidup tenang dan tenteram. Ada kerinduan untuk
kembali hidup seperti dahulu. Untuk membeli bahan bakar minyak kurang dari tiga
ribu, beras, minyak, gula, garam masih dalam harga yang diterima akal sehat.
Sebagai ukuran, di kampung saya dilahirkan, saat komoditas karet dihargai Rp. 6000/kg
harga beras hanyalah Rp. 2000/kg. Dalam setiap kilogram karet yang dihasilkan
dapat membeli setidaknya 3 kilogram beras. Kini, karet hanya dihargai Rp.
7000/kg sedangkan harga beras Rp. 8000/kg. Anda mungkin dapat membayangkan
bagaimana tenaga dan keringat yang keluar hingga membuat tetesan karet menetes
dan dikumpulkan hingga minimal 1 kg itu baru bisa ditukarkan dengan beras kualitas
rendah 1 kg. Entah bagaimana cerita di bidang lain dan di daerah lain. Saat era
sepeda motor telah tiba dan bensin menjadi kebutuhan, harganya pun hanya
berkisar dua ribuan, pun dengan harga minyak tanah yang dahulu masih santer
dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari bensin.
2. Mencari
rupiah tergolong mudah
Saya
membandingkan hidupnya para orang tua dahulu dengan para orang tua jaman
sekarang. Dahulu banyak anak banyak rejeki, memang benar demikian adanya. Dalam
setiap anak terkandung hak yang dapat diperoleh langsung dari negara. Ada bantuan
garam, minyak, beras dari negara dengan menghitung jumlah kepala, banyak anak
artinya komoditas semakin banyak. Orang tua dahulu yang berprofesi sebagai
petani pun tak sukar. Ketimpangan dengan orang kaya tidak besar. Petani,
pedagang, PNS masing - masing dapat memiliki tanah lebar dan rumah yang besar.
Namun lihatlah para orang tua sekarang, memiliki anak banyak adalah beban.
Untuk menghidupi dan membesarkan 1 anak saja mereka seolah sangat terbebani.
Rumahnya kecil, pergi pagi pulang malam bahkan ada yang pagi lagi. Pergi
bekerja saat anak masih terlelap dan pulang saat anak sudah terlelap. Sang anak
bahkan seolah tak tahu apa yang dikerjakan oleh orang tuanya hingga dapat
membiayai mereka. Bandingkan dengan para orang tua dahulu. Bagi petani, mereka
pergi ke kebun, sawah atau ladang saat matahari sudah muncul. Masih ingat dalam
ingatan saya dahulu saat saya mau berangkat ke sekolah berseragam merah putih,
ibu saya masih sempat untuk menyiapkan sarapan pagi dan meninggalkan rumah
terkadang serentak - meskipun seringkali saya yang terlebih dahulu berangkat
karena lonceng sekolah berdentang pukul 7 pagi. Saya setiap berangkat dan
pulang sekolah berjalan kaki bahkan sesekali ikut dalam gerobak peternak sapi
yang sedang membawa rumput segar. Setiap saya pulang sekolah, orang tualah yang
selalu sudah duluan tiba di rumah dan bersiap untuk makan siang.
Dahulu sepeda
motor masih dianggap barang mewah. Semua orang masih menggunakan sepeda ontel
untuk bekerja di sawah, ladang, kebun, sekolah, kantor desa, pasar, dsb.
Seseorang dengan pekerjaan lebih dari satu sering dijumpai. Petani merangkap
sebagai peternak sapi, atau guru sekaligus petani dan pengajar Al Qur'an dan
silat. Semua orang terlihat sangat cerdik memanfaatkan waktu yang lapang.
Bandingkan dengan orang jaman sekarang yang menghabiskan sebagian besar
waktunya berjibaku di kemacetan jalanan. Belum menyebutkan upah yang diterima
setiap bulan hanya cukup untuk membayar cicilan sepeda motor bebek metik, bayar
kontrakan, beli susu anak dan kebutuhan pokok yang harus cukup hingga tanggal
gajian bulan berikutnya alias dengan mode super irit.
3. Keamanan
harganya murah
Tak seperti orang
sekarang yang mengkhawatirkan kehadiran perampok, pencopet, pembegal, dahulu,
musuh terbesar bagi para orang tua adalah makhluk halus. Jalan kaki di tempat
gelap nun jauh dari keramaian atau rumah penduduk sangatlah bisa dilakukan
bahkan untuk takaran seorang wanita. Keluar rumah untuk bepergian jauh saat tengah
malam tiba pun tak menjadi masalah. Diceritakan dari orang tua saya bahwa
dahulu di kampung ada beberapa orang yang mencoba menjadi preman. Terkadang
mereka juga mencuri ayam atau mabuk dan membuat onar. Namun tak lama kemudian
mereka tiba - tiba lenyap seolah ditelan bumi. Siapapun yang menjadi pengacau
keamanan pada jaman dahulu sangatlah dengan dengan kata 'pemusnahan'. Kini, di
atas jam 10 malam, para wanita sudah mulai was - was atas keselamatan mereka,
saat di terminal atau di pasar, para wanita harus ekstra hati - hati dengan
barang bawaan apalagi dompet dan tas yang kerap menjadi sasaran para pencopet.
Di sini, daerah kabupaten Bogor ini, seringkali terdengar kabar tukang begal
yang berhasil merampas sepeda motor.
Setiap hari ada - ada saja nasabah yang mendatangi kantor pembiayaan
kendaraan untuk melaporkan kehilangan unit. Bagi pesepeda motor, terlebih
sepeda motor sport atau metik berbadan bongsor haruslah super waspada bila
mengendarainya saat tengah malam menjelang. Belum lagi menyebutkan preman yang
sering berbuat onar yang kini dapat dengan mudahnya mengulang kejahatan karena
hanya mendekam di hotel prodeo untuk 2 atau 3 tahun saja - dengan berlaku baik
di lapas, membayar pengacara andal untuk mengusahakan remisi setiap ada hari
spesial. Orang di jaman sekarang sangatlah mudah tertipu oleh bujuk rayu.
Bahkan tetangga yang tak menyukai tetangga lain dapat dengan mudahnya
menyebarkan fitnah yang berbuntut mengumpulnya
masyarakat berikut para hansip kampung di ruang tamu dengan cara 'sangat tidak
berpendidikannya' menghardik pemilik rumah dan mau hakim sendiri. Situasi
semakin runyam saat preman kampung merangsek ke dalam kerumunan masyarakat tak
berpendidikan ini. UUD alias ujung - ujungnya duit yang terjadi. Setelah uang
didapat, kerumunan pun bubar. Setelah diselidiki ternyata uang yang didapat
hanya dipakai untuk hura-hura miras oleh para preman kampung sendiri. Para
penegak keamanan tak melakukan apa - apa atas dasar mereka sering 'setoran'.
Negeri ini semakin lama semakin seperti Amerika latin yang para penegak hukum
dan pejabatnya sangatlah haus uang dan kekuasaan.
4. Sekolah
dan pekerjaan layak
Seperti yang
sudah saya ceritakan, sekolah dahulu bukanlah hal yang membosankan. Beasiswa untuk
murid yang ingin melanjutkan studinya bahkan keluar negeri pun dapat
diakomodasi, negara yang membiayainya tanpa perlu bantuan asing yang nota bene
ada embel-embelnya. Namun apa yang terjadi sekarang? Anda dapat menjawabnya
sendiri.
Kebijakan Dalam dan Luar Negeri
1. Rencana
Pembangunan
Dalam hal
pembangunan 5 tahun hingga bahkan 50 tahun ke depan, negeri ini dahulu bahkan
telah memilikinya, sudah jelas apa yang sekarang dikerjakan, apa yang akan
terjadi 10 hingga 50 tahun ke depan. Swasembada beras sangatlah diharapkan
terjadi lagi. Garam, terigu, gandum, gula, pupuk, dll kapan bisa diwujudkan 0%
impor? Bahkan pemerintahan sekarang tak memiliki rencana jelas untuk menuju ke
titik ini. Dalam hal infrastruktur, jalanan negeri ini, hingga detik ini masih
belum distandarkan sehingga jalan raya seluruh penjuru negeri masih jauh dari
kata layak. Tata kelola peruntukan lahan, bahkan acak - acakan. Ada pabrik di
tengah - tengah permukiman, ada BTS tak berizin, ada tempat ibadah dibangun
bukan di tengah - tengah penganutnya, ada kota yang sangat agamis hingga
menempatkan lambang keagamaan di sisi nama besar kotanya, ada juga yang dihujat
karena ingin mengikuti ajaran agama untuk meniadakan praktik miras, ada lahan dan
bangunan pemerintah pusat, daerah dan militer yang bahkan dijual kepada swasta
dan asing, ada bayi yang sampai mati karena diperlakukan seolah ping pong oleh pihak
rumah sakit, matinya pengaturan lalu lintas uang dan truk trailer seolah
membiarkan praktik transfer keluar negeri uang dengan nominal yang tidak
sedikit, praktik truk dan trailer yang bebas melenggang pada jam kapan pun para
sopir ingini sampai ikut berjibaku menambah ruwetnya jalanan setiap pergi dan
pulang kerjanya para pekerja, dan banyak lagi hal konyol lain terjadi di negeri
ini.
2. Pertahanan
Dalam hal
pertahanan, ada berita yang menuliskan bahwa KSAL TNI angkat bicara tentang
urgensi kapal induk. Bagi saya pribadi, memiliki pertahanan yang kuat bukanlah
berdasarkan anggapan bahwa negeri ini adalah negeri pencinta damai. Namun lebih
kepada penjagaan. Bila memang anggapan demikian dilakukan oleh kepolisian, maka
untuk apa kami sebagai rakyat membiarkan para polisi digaji oleh negara,
bukankah semua orang di negeri ini tak melakukan tindakan melawan hukum? Lebih
jauh ke sisi kedamaian, dalam konteks sekarang adanya musibah Air Asia QZ8501,
kehadiran kapal induk sangatlah bisa membantu evakuasi korban dan puing pesawat.
Helikopter dan pesawat yang bertugas dapat dengan mudah menjadikan kapal induk
tersebut menjadi posko utama, tanpa perlu bolak balik seperti setrika ke
pelabuhan lalu ke pangkalan dan diangkut ke Surabaya, langsung saja dari kapal
induk dibawa ke Surabaya, memotong 2 mata rantai birokrasi bukan?
Lalu bagaimana dengan ruwetnya
birokrasi, apakah akan dibiarkan seperti sekarang kualitas nasional para abdi
negara, para abdi bangsa? Bagaimana nasibnya pesawat sipil, militer dan lainnya
kembangan dari IPTN aka PTDI? Bagaimana juga kelanjutan pembangunan KFX dan IFX?
India saja sudah teken kontrak dengan Rusia membangun 20 PLTN dalam 20 tahun, lalu
bagaimana dengan pembangunan PLTN Indonesia? Tiongkok saja sudah bisa mengurangi
korupsi dan bergerak maju hingga dapat menciptakan pesawat tempur dan kapal
induk sendiri, lalu bagaimana dengan negeri ini? Terdengar dari berita bahwa
akan ada impor hingga 2000 unit kapal untuk pemenuhan jalur tol laut hingga
mematikan industri maritim domestik, lalu bagaimana juga dengan megaproyek JSS?
Tiadakah hasrat membuat jalan seluruhnya standar, dimulai dari PJU, selokan,
median jalanan dan penghijauannya, garis jalan, trotoar dan penghijauannya,
plang nama jalan, lampu lalu lintas, dll? Bagaimana pula dengan tata kelola
kepemilikan kendaraan dan properti, juga bahasan infrastruktur lain? Bagaimana
juga dengan masyarakat terdepan dan garis perbatasan negara, apakah akan tetap ditata
seburuk sekarang? Tak adakah keinginan untuk membuatnya seperti tata kelola garis
batas negara Korsel - Korut? Tak adakah impian untuk membalikkan keadaan
masyarakat hingga merasakan dekatnya ibukota karena pengaruh besar di kehidupan
mereka? Bagaimana dengan standarisasi upah dan jam kerja pekerja, apakah masih
akan dibiarkan seperti kini yang membiarkan ketimpangan renumerasi antara
jabatan terendah dan tertinggi, ketimpangan jam kerja sesuai jabatan dan posisi?
Bagaimana pula dengan perumahan rakyat, apakah mau dikelola dengan membiarkan
bunga tinggi, angsuran tak terjangkau, ruwetnya prosedur, hingga tutup mata status
pembeli rumah adalah orang mampu dan bahkan PNS, seperti biasanya?
Terkait semua hal tersebut di
atas, bila memungkinkan sang presiden terkini dapat mewujudkannya, mungkin judul
blog ini kan berubah menjadi "A New Hope" - sesuai dengan yang terbit
di Majalah Times beberapa waktu silam.