Nusantara punya etnis yang
banyak, ada lebih dari 300 suku bukannya yang kita tau? Nah, ini bikin kita ga standar
pada akhirnya. Perbedaan ini bukan tidak mungkin akan meruncing dan menimbulkan
efek dramatis. Sebelum itu terjadi, ada baiknya kita lakukan standarisasi untuk
ini. Bukan untuk bermaksud “kedaerahan”, namun justru untuk mengakui perbedaan,
menghormati dan memproklamirkan itu menjadi ciri khas bangsa, masuk dalam
bahasa baku Bahasa Indonesia. Sejujurnya, masalah
penggunaan ejaan
dan tanda baca, para linguist bangsa
ini belum mengukuhkan penetapan perbaikan lingual lagi sejak
terakhir ditetapkan adanya
istilah EYD. Mau contoh ejaan yang makin bikin bingung? Ayo
diliat berikut:
1. Pemakaian
huruf "e"
Bangsa kita mengenal huruf satu ini dengan
3 pelafalan yang berbeda (sejauh ini yang ditemukan di Indonesia, menurut gue) sesuai kebiasaan lidah dari penggunaan bahasa ibunya, yaitu:
a. Pelafalan "e" yang harusnya dibuat 1 titik di atas hurufnya (saran gue sih)
Ini pelafalan yang sering dipakai paling
umum, contohnya "e" di kata "berapa", “sementara”, “semua”, pelafalan
pada umumnya.
b. Pelafalan "e" yang harusnya dibuat 2 titik di atas hurufnya (saran gue sih)
Kalo ini sering dipakai dan hampir menjadi
ciri khas satu daerah di Sumatera, orang mana ayo? ^,^ Kalo bingung, udah deh, jawabannya
masyarakat di Sumatera Utara.
Untuk mewakili penggunaan pelafalan
"e" kayak di penyebutan huruf konsonan, "b" dibaca
"be", "t" ejaan bacanya "te", nah "e"
dari sebutan ejaan "be" atau "te"nya ini yang dimaksud. Contoh lainnya kata apa ayo? ^,&
c. Pelafalan "e" yang harusnya dibuat garis di atas hurufnya (saran gue sih)
Ini juga sering dipakai dan hampir menjadi
ciri khas satu daerah khusus negeri ini, apa ayo? ^,^ Kalo bingung, udah deh, jawabannya
masyarakat di DKI Jakarta.
Contoh pelafalan "e"nya itu
seperti di kata "merah" atau "enak" atau "tokek"
d. Untuk kalimat yang belum kena penyempurnaan tanda baca (saran gue sih)
Nahh, untuk ini biar ga bingung, sementara sebelum dibilang bahwa
itu tulisan sudah melewati proses editing dan sesuai standar maka dapat kita liat dengan sederhana, yaitu tanpa titik atau garis apapun.
2. Pemakaian huruf "o"
Negeri ini mengenal pelafalan “o” dengan 2 pelafalan berbeda
(sejauh ini yang ditemukan di Indonesia, menurut gue):
a. Pelafalan "o" yang harusnya dibuat 1 titik di atas
hurufnya (saran gue sih)
Ini sering dipakai dan hampir menjadi ciri
khas satu daerah di Sumatera juga, apa ayo? ^,^ Kalo bingung, udah deh yah,
kelamaan mikir, jawabannya masyarakat di Sumatera Barat.
Ini untuk melafalkan pada kata seperti pada kata “
b. Pelafalan "o" yang harusnya dibuat 2 titik di atas
hurufnya (saran gue sih)
Ini juga sering dipakai dan hampir menjadi
ciri khas satu daerah di Sumatera juga, apa ayo? ^,^ Kalo bingung, udah deh yah,
kelamaan mikir, jawabannya masyarakat di Sumatera Selatan.
Ini pelafalan yang sering dipakai paling
umum, contohnya "o" pada kata "mosi", “kotor”, “tongkol”, pelafalan
pada umumnya.
3. Pemakaian
huruf "k"
Ada 2 macam sebutan dan penulisan dengan
huruf “k” yang belum ada standarisasinya:
a.
Pelafalan “k” yang bernada akhiran turun
Contohnya ialah saat memanggil bapak dengan hanya sebagai “pak”,
huruf “k” itu yang dimaksud di sini, sebagaimana masyarakat umum menyebut “k”
pada kalimat “sok bener”.
b.
Pelafalan “k” yang bernada akhiran naik
Coba minta masyarakat Jawa Barat bilang silahkan, mungkin bakal
bilang “sok atuh mangga”, nah “k’ yang dimaksud adalah yang itu. Contoh lain,
coba bilang “mentok”!
Jadinya, sekarang bisa dibilang kalo huruf “k” di sini bukanlah
perkara yang mudah. Coba saja sebut “kapak”, akan dibaca sesuai “k” yang huruf ‘a’
atau ‘b’? Gimana dengan “tapak”, “lapak”, “bak mandi”, “tembak”
4. Pemakaian
diftong "eu"
Negeri ini juga mengenal pelafalan “eu”, contoh sederhana dari
masyarakat daerah Aceh dan Jawa Barat. Nama seperti Meulaboh, Meuraksa,
Citeureup, Pamengpeuk, sudah pada tau belum seluruh Indonesia Raya ini cara
bacanya? Apakah Meulaboh dibaca “Me-u-la-boh” ataukah “Me-la-boh”? Pamengpeuk
dibaca “Pa-meng-pe-uk” ataukah dibaca “Pa-meng-pek”? Belum lagi itu banyak
huruf “e”, ini bacanya “e” yang mana ya? Bikin bingung karena ga ada
standarisasi bahasa.
5. Pemakaian
huruf berulang
Pernah baca kata ini “telaah”? Atau kalian kalo baca kata “sedaaap”
itu gimana ya? Nah, jadi kalo memang seharusnya dibaca setiap hurufnya, berarti
“sedaaap” akan terdengar aneh bukan? Begitu pun sebaliknya, kalo memang
seharusnya dibaca panjang, lalu kata “telaah” gimana mengakomodirnya? Juga
untuk nama daerah, contohnya “Ciseeng”, gimana mau bacanya ayo? Apakah dibaca
per huruf jadinya “ci-se-eng”? Ataukah dibaca panjang “Ci-seng” dengan nada
panjang?
Nah, sekarang gimana, sudah mendapat pencerahan
gimana sebaiknya Bahasa Indonesia kita ini sempurnakan? Sudah ada gagasan
belum? Sudah ada yang mau konferensi dan musyawarah nasional tentang ini? Coba
kabarin ya. [Jabb]
No comments:
Post a Comment