Saturday, February 06, 2016

Inisiasi Bank Data Kependudukan Indonesia

Ada yang geregetan ga liat tingkah polah anggota DPR MPR yang kalo kata alm. Gusdur kayak anak TK itu, yang kalo kata bang Iwan Fals maling teriak maling, seolah ogah dibilang makan duit rakyat?

Pernah denger ga ada kabar ditemuin potongan mayat, atau ada jenazah tanpa identitas ditemuin dan lama diprosesnya kalo ga kena ekspos media, malah nasibnya berakhir di meja belajar para calon dokter muda?

Nah, gimana kalo panggil semua insinyur muda bikin software saling integrasi antara BPS untuk data sentral, BPK untuk auditnya, BI untuk single CIF, kemenkeu urusan pajak, PPPATK untuk watchdog, polri untuk pelacakan dan penampakan sipil, KPK untuk pejabatnya, Provost dan PM untuk militernya -- semua instansi membentuk bank data kependudukan indonesia.

Kalo udah dipelototin dana pribadi melonjak tajam, kan pertanyaannya "dari mana itu duit?", simpel kan ^,^

Sampe misalnya ada ditemukan mayat pun tinggal ambil aja sidik jarinya, pindai dan tadaaaa langsung keliatan identitasnya. Gimana?

Monday, February 01, 2016

Penetapan Standarisasi Tanda Baca dan Pelafalan


Nusantara punya etnis yang banyak, ada lebih dari 300 suku bukannya yang kita tau? Nah, ini bikin kita ga standar pada akhirnya. Perbedaan ini bukan tidak mungkin akan meruncing dan menimbulkan efek dramatis. Sebelum itu terjadi, ada baiknya kita lakukan standarisasi untuk ini. Bukan untuk bermaksud “kedaerahan”, namun justru untuk mengakui perbedaan, menghormati dan  memproklamirkan  itu menjadi ciri khas bangsa, masuk dalam bahasa baku Bahasa Indonesia. Sejujurnya, masalah penggunaan ejaan dan tanda baca, para linguist bangsa ini belum mengukuhkan penetapan perbaikan lingual lagi sejak terakhir ditetapkan adanya istilah EYD. Mau contoh ejaan yang makin bikin bingung? Ayo diliat berikut:

     1.   Pemakaian huruf "e"
Bangsa kita mengenal huruf satu ini dengan 3 pelafalan yang berbeda (sejauh ini yang ditemukan di Indonesia, menurut gue) sesuai kebiasaan lidah dari penggunaan bahasa ibunya, yaitu:

a.    Pelafalan "e" yang harusnya dibuat 1 titik di atas hurufnya (saran gue sih)
Ini pelafalan yang sering dipakai paling umum, contohnya "e" di kata "berapa", “sementara”, “semua”, pelafalan pada umumnya.

b.    Pelafalan "e" yang harusnya dibuat 2 titik di atas hurufnya (saran gue sih)
Kalo ini sering dipakai dan hampir menjadi ciri khas satu daerah di Sumatera, orang mana ayo? ^,^ Kalo bingung, udah deh, jawabannya masyarakat di Sumatera Utara.
Untuk mewakili penggunaan pelafalan "e" kayak di penyebutan huruf konsonan, "b" dibaca "be", "t" ejaan bacanya "te", nah "e" dari sebutan ejaan "be" atau "te"nya ini yang dimaksud. Contoh lainnya kata apa ayo? ^,&

c.     Pelafalan "e" yang harusnya dibuat garis di atas hurufnya (saran gue sih)
Ini juga sering dipakai dan hampir menjadi ciri khas satu daerah khusus negeri ini, apa ayo? ^,^ Kalo bingung, udah deh, jawabannya masyarakat di DKI Jakarta.
Contoh pelafalan "e"nya itu seperti di kata "merah" atau "enak" atau "tokek"

d.    Untuk kalimat yang belum kena penyempurnaan tanda baca (saran gue sih)
Nahh, untuk ini biar ga bingung, sementara sebelum dibilang bahwa itu tulisan sudah melewati proses editing dan sesuai standar maka dapat kita liat dengan sederhana, yaitu tanpa titik atau garis apapun.

     2.   Pemakaian huruf "o"
Negeri ini mengenal pelafalan “o” dengan 2 pelafalan berbeda (sejauh ini yang ditemukan di Indonesia, menurut gue):

a.    Pelafalan "o" yang harusnya dibuat 1 titik di atas hurufnya (saran gue sih)
Ini sering dipakai dan hampir menjadi ciri khas satu daerah di Sumatera juga, apa ayo? ^,^ Kalo bingung, udah deh yah, kelamaan mikir, jawabannya masyarakat di Sumatera Barat.
Ini untuk melafalkan pada kata seperti pada kata “

b.    Pelafalan "o" yang harusnya dibuat 2 titik di atas hurufnya (saran gue sih)
Ini juga sering dipakai dan hampir menjadi ciri khas satu daerah di Sumatera juga, apa ayo? ^,^ Kalo bingung, udah deh yah, kelamaan mikir, jawabannya masyarakat di Sumatera Selatan.
Ini pelafalan yang sering dipakai paling umum, contohnya "o" pada kata "mosi", “kotor”, “tongkol”, pelafalan pada umumnya.

     3.   Pemakaian huruf "k"
Ada 2 macam sebutan dan penulisan dengan huruf “k” yang belum ada standarisasinya:

a.       Pelafalan “k” yang bernada akhiran turun
Contohnya ialah saat memanggil bapak dengan hanya sebagai “pak”, huruf “k” itu yang dimaksud di sini, sebagaimana masyarakat umum menyebut “k” pada kalimat “sok bener”.

b.       Pelafalan “k” yang bernada akhiran naik
Coba minta masyarakat Jawa Barat bilang silahkan, mungkin bakal bilang “sok atuh mangga”, nah “k’ yang dimaksud adalah yang itu. Contoh lain, coba bilang “mentok”!

Jadinya, sekarang bisa dibilang kalo huruf “k” di sini bukanlah perkara yang mudah. Coba saja sebut “kapak”, akan dibaca sesuai “k” yang huruf ‘a’ atau ‘b’? Gimana dengan “tapak”, “lapak”, “bak mandi”, “tembak”


     4.   Pemakaian diftong "eu"
Negeri ini juga mengenal pelafalan “eu”, contoh sederhana dari masyarakat daerah Aceh dan Jawa Barat. Nama seperti Meulaboh, Meuraksa, Citeureup, Pamengpeuk, sudah pada tau belum seluruh Indonesia Raya ini cara bacanya? Apakah Meulaboh dibaca “Me-u-la-boh” ataukah “Me-la-boh”? Pamengpeuk dibaca “Pa-meng-pe-uk” ataukah dibaca “Pa-meng-pek”? Belum lagi itu banyak huruf “e”, ini bacanya “e” yang mana ya? Bikin bingung karena ga ada standarisasi bahasa.

     5.   Pemakaian huruf berulang
Pernah baca kata ini “telaah”? Atau kalian kalo baca kata “sedaaap” itu gimana ya? Nah, jadi kalo memang seharusnya dibaca setiap hurufnya, berarti “sedaaap” akan terdengar aneh bukan? Begitu pun sebaliknya, kalo memang seharusnya dibaca panjang, lalu kata “telaah” gimana mengakomodirnya? Juga untuk nama daerah, contohnya “Ciseeng”, gimana mau bacanya ayo? Apakah dibaca per huruf jadinya “ci-se-eng”? Ataukah dibaca panjang “Ci-seng” dengan nada panjang?


Nah, sekarang gimana, sudah mendapat pencerahan gimana sebaiknya Bahasa Indonesia kita ini sempurnakan? Sudah ada gagasan belum? Sudah ada yang mau konferensi dan musyawarah nasional tentang ini? Coba kabarin ya. [Jabb]